Sehabis pulang dari sekolah, tiba-tiba aku dikejutkan oleh dering telepon. Kudengar isak tangis di seberang sana. Ia berkata, “rum, wera dibawa polisi….”. Hah? Wera? Yah, Wera adalah orang yang sangat dekat denganku. Dia adalah Guru gitarku dan sahabatku. wera yang selalu ceria dan humoris. Wera yang selalu menghiburku, dan Wera yang selalu berbagi makanan denganku.
Akupun bertanya-tanya, kenapa Wera dibawa polisi. Sebagai tersangka, atau sekedar saksi? Melihat dia-yang-menelponku terisak, aku semakin yakin bahwa Wera terlibat suatu kasus kejahatan atau apalah itu. Dia-yang-menelponku berkata, “tiga setengah gram shabu-shabu ditemukan di kamarnya semalam. Dia digrebek saat pesta shabu shabu di rumah, Elex….”.
Seketika aku lunglai dan tak mampu berkata-kata. Lidah ini terasa kelu mendengarnya. Wera memang pernah terlibat kasus yang sama. Bahkan Wera pernah berurusan dengan polisi karena norkoba. Karena polisi gak bisa menunjukkan bukti werapun bebas. Ini adalah kali kedua aku mendengar berita penahanan Wera.
Esoknya kulihat di Metro TV, SCTV, TransTV, wajahnya menghiasi berita pagi itu. Tertunduk lesu sambil berusaha menutupi wajahnya dengan koran, Wera menjawab satu per satu pertanyaan dari polisi. Aku tau Wera pasti malu, teramat sangat. Ah, maafkan aku Wera… Aku belum bisa menjengukmu. Ujian ini harus segera kuselesaikan, setelah itu barulah aku akan menemuimu.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk menjenguk Wera, bersama beberapa orang terdekatnya. Matanya berkaca-kaca saat bertemu denganku. Wera meminta maaf, dan dia berusaha memelukku namun ia enggan. Wera hanya merangkul bahuku sambil berusaha tersenyum. Wajahnya lusuh, dia terlihat lebih kurus dan kusam.
Apa yang kau lakukan berhari-hari mendekam di Lembaga Permasyarakatan ini, Wera? Ia mulai bercerita, bahwa kamar mandi di dalam sel itu begitu kotor, bau dan berlumut. Airnya keruh dan membuat badannya gatal-gatal. Kamar mandi itu tanpa pintu! Dia harus makan, tidur, buang air, mandi dan merenung di satu tempat. Bahkan ia harus bangun di pagi hari untuk berolahraga bersama napi lain. Ah, itu bukan kebiasaanmu, Wera.
Air mata mulai membasahi sungai pipiku tatkala mendengar ceritanya. Aku tak ingin Wera melihatku menangis. Aku tak ingin kesedihanku ini menambah rasa bersalahnya. Biarlah kupendam kesedihan ini. Kuusap air mataku, dan kuganti dengan senyuman terindah. Kuceritakan segala hal yang membuatnya tersenyum. Aku tau ia tersenyum dalam paksaan, dalam hatinya ia masih sedih dan terluka. Ah, Wera… Maafkan aku. Aku memang bukan yang terbaik.
Sejak itu, setiap minggu aku selalu menjenguknya. Jika aku tak sempat, aku hanya menitipkan kue, gorengan, baju baru dan beberapa camilan lainnya melalui sipir. Wera berkata bahwa tak semua titipanku jatuh ke tangannya. Sipir-sipir itu terkadang mengambilnya untuk keperluan pribadinya. Terkadang aku harus menyelipkan makanan-makanan itu ke dalam baju-baju yang kubungkus koran, sambil menitipkan sebungkus rokok untuk para sipir. Hidup di penjara begitu susah.
Beberapa kali Wera menjalani persidangan, hingga akhirnya hakim menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dikurangi masa percobaan. Itu artinya, sisa masa penahanan Wera adalah 1 tahun 7 bulan dan Wera bisa mengajukan bebas bersyarat ketika ia berhasil menjalani masa tahanannya.
Hari demi hari dijalaninya dengan begitu berat. Bahkan Wera harus membantu salah satu temannya untuk berjualan nasi bungkus disana, demi mencari kesibukan. Sangat sulit untuk mencari kesibukan di penjara, katanya. Hanya itu satu-satunya yang bisa dilakukannya, selain menjual pulsa, mie instant dan rokok. Begitulah hidup para napi, saling berjualan dengan cara barter (beberapa tetap menggunakan uang). Tak sedikit pula napi yang saling adu kekuatan tatkala salah seorang napi terjerat hutang dan tak mampu membayar pada napi lainnya. Siksaan tak hanya datang dari napi. Para sipirpun terkadang menyiksa mereka. Hanya karena kancing baju yang lepas, celana yang belum diresleting, kurang senyum pada sipir, tidak berbagi rokok pada sipir, itu semua bisa membuat mereka menerima pukulan dari para sipir.
Untunglah Wera bisa menerima keadaan, dan Wera semakin mendekatkan diri pada Tuhan. Aku suka cara itu, Wera! Aku tak menyangka bahwa Wera bisa menjadikan ini semua sebagai pembelajaran diri. Dan ketika ia diungsikan ke LP Narkotika Nusakambangan Cilacap, ia tetap teguh pada keinginannya untuk bebas.
Ah Wera, aku tau betapa menderitanya dirimu.
Akupun bertanya-tanya, kenapa Wera dibawa polisi. Sebagai tersangka, atau sekedar saksi? Melihat dia-yang-menelponku terisak, aku semakin yakin bahwa Wera terlibat suatu kasus kejahatan atau apalah itu. Dia-yang-menelponku berkata, “tiga setengah gram shabu-shabu ditemukan di kamarnya semalam. Dia digrebek saat pesta shabu shabu di rumah, Elex….”.
Seketika aku lunglai dan tak mampu berkata-kata. Lidah ini terasa kelu mendengarnya. Wera memang pernah terlibat kasus yang sama. Bahkan Wera pernah berurusan dengan polisi karena norkoba. Karena polisi gak bisa menunjukkan bukti werapun bebas. Ini adalah kali kedua aku mendengar berita penahanan Wera.
Esoknya kulihat di Metro TV, SCTV, TransTV, wajahnya menghiasi berita pagi itu. Tertunduk lesu sambil berusaha menutupi wajahnya dengan koran, Wera menjawab satu per satu pertanyaan dari polisi. Aku tau Wera pasti malu, teramat sangat. Ah, maafkan aku Wera… Aku belum bisa menjengukmu. Ujian ini harus segera kuselesaikan, setelah itu barulah aku akan menemuimu.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk menjenguk Wera, bersama beberapa orang terdekatnya. Matanya berkaca-kaca saat bertemu denganku. Wera meminta maaf, dan dia berusaha memelukku namun ia enggan. Wera hanya merangkul bahuku sambil berusaha tersenyum. Wajahnya lusuh, dia terlihat lebih kurus dan kusam.
Apa yang kau lakukan berhari-hari mendekam di Lembaga Permasyarakatan ini, Wera? Ia mulai bercerita, bahwa kamar mandi di dalam sel itu begitu kotor, bau dan berlumut. Airnya keruh dan membuat badannya gatal-gatal. Kamar mandi itu tanpa pintu! Dia harus makan, tidur, buang air, mandi dan merenung di satu tempat. Bahkan ia harus bangun di pagi hari untuk berolahraga bersama napi lain. Ah, itu bukan kebiasaanmu, Wera.
Air mata mulai membasahi sungai pipiku tatkala mendengar ceritanya. Aku tak ingin Wera melihatku menangis. Aku tak ingin kesedihanku ini menambah rasa bersalahnya. Biarlah kupendam kesedihan ini. Kuusap air mataku, dan kuganti dengan senyuman terindah. Kuceritakan segala hal yang membuatnya tersenyum. Aku tau ia tersenyum dalam paksaan, dalam hatinya ia masih sedih dan terluka. Ah, Wera… Maafkan aku. Aku memang bukan yang terbaik.
Sejak itu, setiap minggu aku selalu menjenguknya. Jika aku tak sempat, aku hanya menitipkan kue, gorengan, baju baru dan beberapa camilan lainnya melalui sipir. Wera berkata bahwa tak semua titipanku jatuh ke tangannya. Sipir-sipir itu terkadang mengambilnya untuk keperluan pribadinya. Terkadang aku harus menyelipkan makanan-makanan itu ke dalam baju-baju yang kubungkus koran, sambil menitipkan sebungkus rokok untuk para sipir. Hidup di penjara begitu susah.
Beberapa kali Wera menjalani persidangan, hingga akhirnya hakim menjatuhkan vonis 2 tahun penjara dikurangi masa percobaan. Itu artinya, sisa masa penahanan Wera adalah 1 tahun 7 bulan dan Wera bisa mengajukan bebas bersyarat ketika ia berhasil menjalani masa tahanannya.
Hari demi hari dijalaninya dengan begitu berat. Bahkan Wera harus membantu salah satu temannya untuk berjualan nasi bungkus disana, demi mencari kesibukan. Sangat sulit untuk mencari kesibukan di penjara, katanya. Hanya itu satu-satunya yang bisa dilakukannya, selain menjual pulsa, mie instant dan rokok. Begitulah hidup para napi, saling berjualan dengan cara barter (beberapa tetap menggunakan uang). Tak sedikit pula napi yang saling adu kekuatan tatkala salah seorang napi terjerat hutang dan tak mampu membayar pada napi lainnya. Siksaan tak hanya datang dari napi. Para sipirpun terkadang menyiksa mereka. Hanya karena kancing baju yang lepas, celana yang belum diresleting, kurang senyum pada sipir, tidak berbagi rokok pada sipir, itu semua bisa membuat mereka menerima pukulan dari para sipir.
Untunglah Wera bisa menerima keadaan, dan Wera semakin mendekatkan diri pada Tuhan. Aku suka cara itu, Wera! Aku tak menyangka bahwa Wera bisa menjadikan ini semua sebagai pembelajaran diri. Dan ketika ia diungsikan ke LP Narkotika Nusakambangan Cilacap, ia tetap teguh pada keinginannya untuk bebas.
Ah Wera, aku tau betapa menderitanya dirimu.
1 komentar:
stidaknya bisa jadi pelajaran bwt kita semua..
salam kenal yaa.. :D
Posting Komentar
Informasi Pilihan Identitas:
Google/Blogger : Khusus yang punya Account Blogger.
Lainnya : Jika tidak punya account blogger namun punya alamat Blog atau Website.
Anonim : Jika tidak ingin mempublikasikan profile anda (tidak disarankan).